Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) baru-baru ini mengeluarkan pernyataan tegas terkait Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 2 Tahun 2025 yang mengatur tentang poligami bagi aparatur sipil negara (ASN) di DKI Jakarta. Dalam pernyataan tersebut, Komnas Perempuan menekankan pentingnya perlindungan terhadap perempuan dan anak dalam konteks kebijakan ini, serta mendesak Pemprov DKI untuk memastikan bahwa setiap ASN yang ingin berpoligami harus mendapatkan izin dari istri pertama.
Perlindungan Perempuan dan Anak
Siti Aminah Tardi, salah satu komisioner Komnas Perempuan, menjelaskan bahwa asas perkawinan di Indonesia adalah monogami, dan poligami hanya diperbolehkan dengan syarat-syarat yang ketat. “Poligami dimungkinkan, tetapi dengan syarat-syarat tertentu yang sangat ketat dan dibatasi,” ungkap Siti dalam sebuah diskusi yang disiarkan di BTV. Ia menekankan bahwa Pergub ini seharusnya tidak mempermudah praktik poligami, melainkan justru memastikan bahwa prosedur yang ada dapat melindungi hak-hak perempuan dan anak.
Siti juga menyoroti bahwa ASN yang ingin berpoligami harus memenuhi beberapa persyaratan, termasuk mendapatkan izin dari istri pertama, pengadilan, dan atasan. “Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa hak-hak perempuan dan anak terlindungi,” tambahnya. Ia mengingatkan bahwa syarat-syarat yang ada dalam undang-undang sering kali dianggap diskriminatif, seperti alasan istri tidak dapat memberikan keturunan atau mengalami disabilitas.
Evaluasi Permohonan Poligami
Dalam Pergub tersebut, juga dibentuk tim pertimbangan yang bertugas untuk mengevaluasi setiap permohonan poligami dari ASN. Tim ini akan menilai apakah pengajuan tersebut memenuhi prosedur yang ditetapkan, termasuk memastikan adanya pembagian penghasilan yang adil bagi semua pihak. “Pencatatan perkawinan juga menjadi bagian integral dari penegakan Pergub ini,” jelas Siti, menambahkan bahwa banyak kasus poligami yang terjadi tanpa pencatatan resmi dan sering kali diawali dengan perselingkuhan.
Kritik Terhadap Pergub
Meskipun ada upaya untuk mengatur poligami dengan ketat, banyak pihak yang mengkritik Pergub ini. Andy Yentriyani, komisioner lainnya dari Komnas Perempuan, menyebut bahwa syarat-syarat yang ditetapkan dalam Pergub bersifat diskriminatif. Ia menilai bahwa alasan-alasan yang digunakan untuk mengizinkan poligami, seperti istri tidak dapat menjalankan kewajibannya, sangat subjektif dan mencerminkan konstruksi masyarakat patriarki.
Politikus dari PDIP, Diah Pitaloka, juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap kebijakan ini. Ia menilai bahwa kebijakan tersebut bertentangan dengan perjuangan perempuan di Indonesia dan meminta agar Pemprov DKI meninjau ulang kebijakan tersebut. “Kebijakan ini tidak mencerminkan keberpihakan terhadap suara kaum perempuan,” tegasnya.
Komnas Perempuan menegaskan bahwa setiap kebijakan yang berkaitan dengan poligami harus memperhatikan hak-hak perempuan dan anak. Dengan adanya Pergub Nomor 2 Tahun 2025, diharapkan dapat tercipta prosedur yang lebih ketat dalam praktik poligami bagi ASN, serta memberikan perlindungan yang lebih baik bagi perempuan dan anak. Namun, kritik yang muncul menunjukkan bahwa masih banyak yang perlu diperbaiki dalam kebijakan ini agar benar-benar berpihak pada perempuan dan tidak menimbulkan diskriminasi.
Dengan demikian, penting bagi Pemprov DKI untuk mendengarkan masukan dari berbagai pihak dan memastikan bahwa setiap langkah yang diambil dalam kebijakan ini tidak hanya memenuhi aspek legal, tetapi juga memperhatikan aspek moral dan sosial yang lebih luas